Aku Cinta Kamu, Anak Aceh!!
Sudah seminggu dunia menangis, menangisi kepergian dan kehancuran yang telah terjadi. Entah hanya fenomena alam atau teguran dari Allah kepada umat-Nya, bencana itu datang tanpa diundang. Meluluh lantahkan hampir semua yang ada, menghilangkan orang-orang tersayang, hingga membuat semua orang berduka. Tsunami yang dahsyat itu telah menelan banyak korban jiwa, seperti tetangga Mentari yang konon kabarnya, keluarga mereka menjadi salah satu korban keganasan tsunami tersebut.
Mentari yang siang itu sedang menonton televisi, merasa iba atas berita yang akhir-akhir ini sering muncul di layar kaca, apalagi mendengar kabar temannya yang menjadi korban, sungguh dunia seakan runtuh.
“Ma, gimana kabar tetangga yang keluarganya di Aceh itu?” tanya Mentari saat bersama Mamanya.
“Oh iya, Mama belum kasih tahu kamu ya? Keluarganya yang selamat itu kan udah ada disini,” jawab Mamanya.
“Hah? Yang benar Ma? Termasuk Heri, teman kecilku?” Mentari memasang wajah iba.
“Iya, dia datang sama ayahnya. Sungguh kasihan, ibu dan adik perempuannya menjadi korban disana.”
“Astaghfirullah... Kasihan banget ya, Ma?”
“Iya, mungkin ini teguran dari Allah agar kita selalu bersyukur atas apa yang ada. Keluarga, teman, rezeki, kesehatan, banyak deh! Mungkin Mama mau bantu dia sebisa Mama.”
“Bagus itu, Ma! Kan kasihan Heri, Ma.”
Mendengar Heri telah kembali, Mentari merasa senang. Ingatannya membawanya kembali kepada kisah-kisah masa lalu bersama Heri. Heri adalah sahabat kecilnya, mereka dekat sekali saat masih duduk di bangku TK. Tetapi Mentari tidak yakin apakah Heri masih mengenalinya, karena sudah sekian lama mereka berpisah, tak bertemu, tak ada yang memberi kabar. Saat Heri pergi ke Aceh pun, ia tak memberi kabar sama sekali.
Benar saja, sejak Heri menjadi tetangganya kembali, mereka tak pernah bertegur sapa, berkenalan pun tidak. Padahal Heri sering sekali mendatangi rumahnya, mama Mentari sering membawanya untuk menerima berbagai bantuan atas Tsunami yang menimpanya. Mentari masih menganggapnya wajar, mungkin Heri masih terlalu berduka untuk berteman dengan siapapun. Mungkin ia masih trauma atas apa yang telah terjadi. Bayangkan saja, ibu dan adik perempuan satu-satunya dirampas oleh keganasan Tsunami, ia harus kehilangan orang yang sangat ia cintai, belum lagi perjuangannya agar selamat dari amukan Tsunami. Mentari pun terus berandai-andai dalam lamunannya. Andai aja lo masih inget gue, Her. Andai aja kita masih bisa bersahabat, gue mau selalu ada disamping lo, nemenin lo yang lagi sedih. Gue mau ngehibur lo, seenggaknya gue mau sedikit beban lo berkurang karena gue. Karena sebenarnya rasa sayang gue buat lo masih sama dari dulu, dan nggak akan pernah berubah... Sampai kapanpun...
***
“Lin, lo masih inget teman TK kita dulu kan?” Tanya Mentari kepada Lina yang sedang bengong.
“Dikit... Kalo ayunan ama perosotannya sih gue masih inget, ama warung yang diseberangnya juga tuh, gue masih inget. Emang kenapa sih?”
“Ampun deh Gue!” Mentari menepuk keningnya. “Itu sih nggak penting, yang penting dan gue mau tanyain itu Heri. Masih inget?”
“Heri??” Lina berpikir keras, sekeras batu karang. “Iya, inget kok! Yang ganteng itu kan?”
“Iya. Yang gantengan dikit aja lo inget.”
“Hehe..” Ia tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Heri yang deket banget ama lo itu kan? Kenapa?”
“Iya. Dia kan pindah ke Aceh. Terus kena Tsunami, jadi dia sekarang balik lagi kesini. Dan....”
“Dan dia nambah ganteng, ya kan?” lanjut Lina dengan wajah tak berdosa.
“Bukan gitu, dodol!. Masalahnya dia udah lupa ama gue.”
“Oya? Mungkin dia ingetnya cuma ama gue. Hehe.... Bukan, eh nggak, gini maksud gue, mungkin ya wajar lah, itu kan udah lama banget, kita sekarang aja udah pada SMA. Jadi dia nggak mungkin inget ama lo.”
“Iya sih, tapi masa nggak inget sama sekali gitu ama sahabat kecilnya. Dikiiiit aja ingetan dia tentang gue.”
“Ya lo sabar aja. Lama-lama juga dia inget lagi ama lo, asal lo sering aja nampakin muka lo didepan dia. Hehe......”
“Huffft.....” Mentari hanya dapat menghembuskan napas sekuat-kuatnya mendengar jawaban tamannya yang tidak bermutu dan ia terus memikirkan Heri.
Sedangkan Heri yang selalu dipikirkan Mentari hampir setiap hari datang ke rumahnya. Namun Mentari hanya dapat memandanginya dari kejauhan, ingin sekali rasanya dapat berbicara padanya. Sikap Heri yang santun dan baik kapada semua orang membuat hatinya semakin berbunga. Ia menyadari, rasa sayang sebagai sahabat semasa kecil dulu datang kembali. Dan mungkin rasa itu dapat menjadi lebih, seiring berjalannya waktu, dan seiring berjalannya kedewasaan mereka.
Hati Mentari semakin berbunga-bunga saat ia mengetahui bahwa Heri akan menetap dan telah tercatat sebagai siswa SMA SURYA BANGSA, sekolah yang sama dengan Lina. Ia semakin berharap agar Heri dapat mengenalinya suatu saat nanti, entah sampai kapan.
***
Seperti biasanya, Lina mengunjungi rumah Mentari untuk bermain bersama. Mereka selalu berkumpul setiap hari Minggu, karena hanya hari itulah, mereka sama-sama tidak disibukkan dengan aktivitas mereka sebagai seorang pelajar.
“Hei, Heri sekolah bareng gue loh!” Lina membuat sahabatnya iri.
“Udah tau kok! Lo nya aja yang ketinggalan.”
“Bener lo ya, nggak mau tau apapun tentang dia?”
“Hehe..... Lina yang cantik, Heri sekelas ama lo nggak?” tanya Mentari sambil merayu.
“Iya. Tambah ngiri kan lo? Haha.....”
“Banget..... ”
“Lo suka beneran ya ama dia? Saran gue sih ya, lo jangan suka banget deh ama dia, dia banyak yang suka di sekolah.”
“Lo cuma mau bikin gue patah hati aja kan? Tega ya lo! Lo tau nggak, gue tuh sayang banget ama dia, gue tau konyol banget, karena mungkin ini perasaan dari masa kecil gue, tapi itu dulu! Dulu rasa ini cuma sebatas sahabat. Tapi sekarang kita udah beda. Ini bukan sekedar perasaan masa lalu!”
“Maaf, Tar. Gue malahan nggak mau lo patah hati cuma karena dia, gue takut dia udah jadi pacar orang lain disana. Maaf.......”
Mentari hanya terdiam. Gue terlanjur cinta ama lo, Her. Terlambat bagi gue, untuk pergi dari lo. Terlalu indah perasaan itu, nggak mudah untuk ngelupain lo, nggak mudah buat gue utuk ngilangin rasa sayang dan cinta gue....
Namun jauh didalam hati Lina, ia tidak ingin sahabatnya terluka. Melihat sahabatnya sedang sedih, ia hanya dapat bersuara dalam hati. Maafin gue Tar, gue mau liat lo bahagia, bukan terluka. Gue janji, gue akan buat kalian dekat lagi, seperti dulu. Bahkan mungkin lebih dari itu, GUE JANJI!.
Esoknya, Lina ingin menepati janjinya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Mentari, ia pergi menemui Heri. Kata demi kata ia ucapkan agar ia dapat memahami keadaan sahabatnya, Mentari.
“Gue mohon lo ngerti, Her! Dia sahabat kecil lo. Gue yakin lo pasti masih inget, terlalu banyak cerita kalian berdua untuk dilupain. Gue tau kalian pasti saling menyayangi. Dan lo tau, dia cuma bisa senyum setiap ketemu lo, dia cuma bisa mandangin dan ngagumin lo setiap lo datang ke rumahnya? Semua itu bukan karena dia kecentilan, tapi dia cuma berharap supaya lo bisa inget dia dan ngejelasin kenapa waktu lo pindah lo nggak pernah kasih kabar. Itu aja!” Lina menjelaskan betapa besarnya rasa sayang Mentari kepada Heri.
Lina bingung, dari sekian banyak yang ia ucapkan, tak satupun kalimat yang keluar darinya untuk menjawab keraguan Mentari. Heri hanya berkata, “terimakasih”. Sungguh bukan jawaban yang dapat memuaskan hati siapapun yang mendengarnya.
***
Hari ini begitu cerah, sang mentari memancarkan sinar bahagianya untuk menerangi bumi ini. Namun cerahnya sang mentari tidak secerah hati Mentari pada hari ini. Mentari masih murung dan meratapi kisahnya. Tetapi, entah ada angin apa, Heri datang menemuinya.
“Cari Kak Bayu ya? Orangnya lagi nggak ada, barusan aja keluar,” kata Mentari ketika tiba-tiba Heri datang.
“Siapa yang mau nyari Kak Bayu?”
“Oh, mau nyari Kak Kholid ya, atau Kak Andre?” Tanyanya sambil menyebutkan nama kakak-kakaknya. “Atau nyari Mama?”
Heri tertawa kecil, lalu ia melanjutkan, “Mereka semua nggak ada kan? Ngapain nyari yang nggak ada.”
“Iya, kok tau? Terus mau nyari siapa?”
“Lo. Ada kan orangnya?”
Mentari diam karena bingung.
“Hei....” Kata Heri mengagetkan Mentari.
“Hah, eh iya, kenapa? Gue?”
“Iyalah, boleh ngobrol?”
“Oh... Iya, boleh. Duduk, duduk!” Mentari mempersilahkan Heri yang dari tadi dibiarkan berdiri.
“Hmm... Kenalin, nama gue Heri. H-E-R-I.” katanya sambil dieja.
“Nggak usah pake dieja segala kali, gue juga udah tau!”
“Hehe.... Nama lo Mentari Oboria Pinot kan? Anak keempat dari empat bersaudara. Lahir di B.Lampung, tanggal 8 Februari 1993. Paling suka warna kuning, nggak suka gelap. Makanan kesukaannya siomay ama es tawar. Bener?”
“Haha.... Bisa aja. Kok tau?”
“Ya tau lah. Siapa sih yang bisa lupa ama sahabatnya sendiri. Sahabat waktu kecil.”
Mentari segera memeluk Heri, namun sadar tidak sopan, ia segera melepaskan pelukannya. “Maaf... Gue seneeeeng banget lo masih inget gue. Seneeeeng banget!”
“Gue juga seneng bisa ketemu lagi ama lo. Kita bisa sahabatan lagi kan?”
“Ya bisa lah. Gue seneng lo nggak lupa ama gue. Sejak lo pindah lagi kesini gue inget lo sahabat gue yang dulu pindah ke Aceh nggak bilang-bilang.”
“Jangan marah ya? Waktu itu gue sengaja. Gue takut kalo gue bilang, lo pasti marah ama gue dan ngelarang gue pindah. Jadinya gue pindah dengan keadaan lo lagi marah. Gue nggak mau.”
“Emang dengan lo kayak gini, gue nggak marah gitu? Tega banget sih! Waktu itu gue cemas, khawatir, terus nyari lo kemana-mana, nanya-nanya, udah kayak petugas sensus.”
“Maaf deh. Ya..Ya...Ya...”
Lalu mereka tertawa mengingat masa-masa kecil mereka yang tak mungkin dan takkan pernah terlupakan.
***
Sejak pertemuan singkat itu, akhirnya mereka dapat dekat kembali. Mentari sungguh tidak menyangka Heri masih mengingatnya. Hal itu seakan mewarnai kembali hidupnya yang kelam belakangan ini. Mereka menjadi semakin dekat, main bersama, tertawa bersama, sedih pun mereka selalu bersama.
Suatu hari, Heri mengajaknya makan malam. Ia telah memesan tempat yang paling romantis disana. Ia sengaja memesan tempat yang paling belakang, sehingga pemandangan kota yang penuh cahaya lampu dapat terlihat jelas. Tidak ada seorangpun disekitar mereka. Yang ada hanyalah lilin-lilin kecil mengitari mereka, belum lagi, pepohonan yang menjulang tinggi melambaikan angin sejuk.
“Tar, lo seneng nggak gue bawa kesini?” Tanya Heri sambil menatap wajah cantik Mentari.
“Iya, gue seneeeng banget. Makasih ya!”
“Sama-sama. Gue cuma mau ..... Hmm..” Heri berpikir sejenak. “Mau makan, iya! Abis gue laper berat.”
Kali ini Mentari salah tebak, nggak mungkin juga kali, dia mau nembak gue malem ini. Ngayal. Huh!
“Udah deh, gue jujur aja kali ya? Gue mau ngomong sesuatu ama lo. Penting banget.”
“Penting? Ya udah, ngomong aja.”
“Oke, gini. Gue mau...” Suara Heri tertahan, lidahnya sulit untuk membentuk huruf apapun.
“Gue mau jujur ama lo, sebenernya gue itu.....” Katanya melanjutkan, namun tetap saja tertahan.
“Kenapa sih?” tanya Mentari penasaran.
Heri sangat tegang, memikirkan kata-kata apa yang hendak dikeluarkan. Ia sungguh sedang dilema, antara akan berkata atau tidak. Namun sesaat kemudian...
“Maaf deh, gue nggak bisa bilang sekarang. Gue janji gue akan bilang semuanya setelah kita lulus. Gue mau konsentrasi penuh buat ujian minggu depan, gue takut apa yang bakal gue omongin ini nantinya ngeganggu kita.”
“Kenapa bisa sampai ngeganggu kita?”
“Nanti lo juga tau kok. Kalo gue bilang sekarang, gue nggak siap dengan semua resikonya. Gue mau sukses dulu, mau ngebanggain ayah, dan tentunya ibu gue disana. Maaf ya kalo nggak ngenakin buat lo?” pinta Heri sambil mengenggam tangan Mentari.
“Lo cuma buat gue penasaran tau? Kalo gini, mending lo nggak usah ngomong aja sekalian!” Tiba-tiba Mentari terkejut melihat benda di pergelangan tangan Heri. Benda itu mirip sekali dengan miliknya yang diberi orang tak dikenal saat ulang tahunnya. Lalu ia bertanya, “Bentar! Ini punya lo?” sambil menunjuk benda itu.
“Kita pulang aja yuk, udah malem. Gue nggak mau dimarahin mama lo.”
Tangan Heri yang mengenggam tangannya erat, sulit dilepaskan. Ia bingung sendiri, pertanyaannya sama sekali tidak dihiraukan. Heri malah bicara banyak sekali hingga perjalanan usai, tidak memberi kesempatan baginya untuk bertanya. Hingga pertanyaannya pun ikut pulang bersama dirinya sampai ke rumah.
***
Seminggu berlalu sejak makan malam itu, Ujian Nasional yang harus ia hadapi pun telah usai. Kini ia sedang menunggu pengumuman hasil ujian. Bukannya Mentari sudah tidak penasaran lagi dengan segala pertanyaan yang ada dibenaknya. Tetapi Mentari pun ingin berkonsentrasi pada ujian dan SNMPTN. Ia ingin membuktikan bahwa ia juga bisa membanggakan semua orang, termasuk Heri.
Hari demi hari ia menunggu. Hingga pada saat pengumuman tiba, ia, Heri,dan Lina pun dinyatakan lulus. Sungguh senangnya hati mereka. Setelah tiga tahun lamanya mereka mengabdi sebagai seorang pelajar, berbakti pada guru, dan menaati segala peraturan sekolah, akhirnya mereka dapat menggapai kejayaan mereka.
Ada satu hal yang mengganjal hati Mentari saat pesta kelulusannya, janji Heri yang memenuhi hati dan pikirannya selama ini belum terjawab. Walaupun sudah tiba saatnya Heri menjelaskan semua, ia belum juga mendapat jawabannya. Karena Heri menghilang begitu saja.
Ia cemas dan khawatir kemana Heri pergi. Ia tidak ada dirumahnya. Ia telah menanyai siapapun, tetapi tetap saja Heri tidak ada. Ia pergi menemui sepupu Heri, namun bukannya mendapatkan Heri, ia malah mendapatkan sebuah amplop terbungkus cantik, indah dan rapih. Isinya adalah surat dari Heri untuknya. Perlahan-lahan ia membuka surat itu, tidak ingin surat itu terkoyak sedikitpun, sambil berdoa, ia pun membacanya.
Sahabatku tersayang,
Selamat ya atas kelulusan lo! Katanya niali-nilainya bagus ya? Gue udah menduga itu, lo kan pintar. Gue yakin cita-cita lo untuk masuk Unversitas terbaik itu pasti bisa tercapai.
Maaf ya,, lo pasti lagi mencari-cari gue untuk menagih janji kan? Sebelumnya lo harus tau, siapa bilang gue lupa ama lo saat pertama gue balik ke Lampung? Gue udah terpesona saat pertama kali liat lo, dan gue langsung sadar kalo lo sahabat kecil gue yang ingusan itu. Gue seneeeeng banget bisa ketemu lo lagi.
Gue sadar kita udah sama-sama remaja, lo juga udah jadi cewek cantik. Gue suka tiap kali liat lo. Mata lo selalu meneduhkan gue, gue juga suka cara lo memperlakukan orang. Semua itu buat gue sadar kalo kita bukan anak ingusan lagi dan rasa sayang kita sebagai sahabat dulu bisa berubah. AKU SUKA KAMU, MENTARI! AKU CINTA KAMU! Maaf ya mungkin kedengerannya kurang gentle bilang lewat surat jelek ini. Tapi inilah yang selama ini gue pendam, tertahan dalam janji gue.
Tapi gue harus kembali ke Aceh, karena ayah udah dapet kerjaan. Dan gue terpaksa masuk universitas disini. Oya, lo masih bingung kenapa gelang itu ada di gue? Itu punya gue tau! Kalo emang mirip punya lo, itu karena gue yang ngasih lewat pos pas lo ultah. Lo tau siapa yang ngirim benda-benda aneh setiap lo ultah? Itu gue, Tar! Gue selalu inget kapan lo ultah. Gue selalu mikirin lo, padahal belum tentu lo mikirin gue. Gue tau kok apapun yang terjadi ama lo, lo lagi seneng, lo lagi kena masalah. Semuanya gue tau! Gue selalu komunikasi ama kakak lo. Maaf ya kalo gue cuma bisa jadi pengagum rahasia lo. Gue sadar gue nggak pantes buat lo. Tapi gue harus berani, apapun yang akan terjadi nanti, walaupun lo nggak menginginkan gue. Tapi yang gue mau, nanti pas gue kembali lagi kesana, gue mau nagih lo untuk bilang, “AKU CINTA KAMU, ANAK ACEH”. Hehe...
Sampai jumpa ya, ANAK LAMPUNG !
Love you,
Heri
Mentari meneteskan air mata setelah membacanya. Ia memeluk surat itu dengan erat, seakan tak mau surat itu terjatuh dan hilang. Rasa dalam hatinya hanya sanggup memberontak. Senang dan sedih terus berkecamuk dalam hatinya. Ia senang karena Heri juga mencintainya, namun kepergian Heri yang tiba-tiba sungguh menyayat hatinya. Gue juga cinta ama lo, Her! Thanks buat hadiah-hadiah ultahnya. Selama gue masih bisa bernafas, masih bisa berjalan, selama kita masih bisa menyatukan hati, gue akan selalu menunggu lo dan mencintai lo. Meski gue nggak tau lo dimana, gue yakin cinta kita akan selalu ada seperti angin yang selalu ngikutin kemana arah kita, ucapnya dalam hati, cukup dalam hati.